13 Juni 2019

ANAK KUCING
  
Jumpa lagi di postinganku kali ini. Yuk, simak baik-baik ceritanya. Cek this out!

                                                ANAK KUCING

            Pagi itu, rumahku nampak berdebu. Seperti biasa aku pun menyapu. Mulai dari kolong tempat tidur, kolong lemari, meja kursi, semuanya kotor. Tapi sudah biasa bagiku. 
"Meong.. meongg... " kucingku mulai bersenandung. Kita memang sering bermain bersama. Dan dia suka sekali menggangguku saat menyapu. Dia bak teman setia, selalu ada kapanpun aku ingin bersamanya. 
            Tak terasa sudah sampai pintu depan, kucari cikrak dan.....
"Miaoung... Miaoungggg... " suara kucing mana lagi itu? Kulihat kucingku diam saja?
Nampak di jalan depan rumahku, segerombol kucing melintas. Mereka adalah induk kucing tetanggaku dan kedua anaknya. Ada yang menarik. Salah satu anak kucing itu lucu sekali, umurnya hampir sepantaran dengan kucingku. Dia pernah kutangkap selama sehari dan akhirnya kucingku sendiri yang mengantarnya pulang. Aneh bukan??? Memang aneh sih.
              Sifat jahilku pun muncul. Segera aku lari dan kutangkap anak kucing yang kubidik tadi. Tapi induknya  nampaknya mengerti maksudku. 
"Miaoungg miaounggg......" induk kucing itu meraung-raung melihat anaknya kubawa. Dia memandangku.. seperti berkata "jangan.... Jangan.. ambil anak-anakku".
Melihat ekspresi induk kucing itu pun aku tak tega segera kulepas dan dia pun berlari  mengikuti induknya.
            Belum jauh, induknya menoleh kepadaku. aku pun tersenyum sambil melambaikan tanganku. Lalu mengapa aku lepas begitu saja kucing bidikanku itu? Satu hal yang harus aku tahu, aku pun tidak mau dipisahkan dengan ibuku, mengapa aku harus memisahkan kucing itu dengan induknya? Pasti dia juga merasa sedih bukan? Ya, binatang pun punya perasaan.



Selamat membaca, semoga bermanfaat.

Kali di Pojok Kampung



Jumpa  lagi di postingan kali ini. So, silahkan dibaca cerpenku kali ini kawan..


“KALI DI POJOK KAMPUNG”

Awan biru menghiasi cakrawala hari ini. Mentari amat terik bak membakar punggung. Sumilir angin meniup-niup tubuhku yang basah karena cucuran keringat. Aku pulang sekolah bersama teman-teman. Kami berbincang-bincang sepanjang jalan.
“Teman-teman.., nanti sore main yuuk..,” kata Ito mengawali obrolan kami.
“Ide cemerlang To.., tapi tunggu dulu... mau main ke mana?” tanyaku.
“Gimana kalau kita mancing saja di kali itu lho...,” kata Ito menyampaikan usulnya.
“Kali yang mana?” tanya Doni nampak heran.
 “Itu lho Don, kali di dekat sawah..,” jelas Ito.
“Memangnya kenapa sih Don? Sepertinya kamu heran sekali??” tanyaku penasaran.
“Oh tidak...tidak..tidak kenapa-napa kok. Tapi kita jangan main di situ ya, kita main di tempat lain aja..” kata Doni aneh sekali, penuh dengan kegelisahan dan sedikit senyum yang dipaksakan. Kelihatan sekali ia sedang menyembunyikan sesuatu. Sebenarnya aku penasaran tapi ya sudahlah.
“Oke.., tidak apa-apa kok Don. Terus kita jadinya main di mana nih?” kata Ito.
Kami diam sejenak untuk memikirkan ke mana kami akan bermain nanti sore.
“Ahaaa... aku punya ide. Bagaimana kalau kita main bola di lapangan saja. Ide bagus bukan?” celetukku tiba-tiba.
“Setuju!!” jawab Ito dan Doni serempak.
Tak terasa kami sudah sampai di pertigaan jalan. Tempat kami harus berpisah menuju rumah masing-masing.
Tibalah waktu yang disepakati. Aku segera berangkat menuju lapangan bola itu. Tak berapa lama, sampailah aku di sana. Nampak Ito dan Doni sudah datang lebih awal. Mereka lalu menghampiriku dan mengajakku bermain bersama. Satu jam lebih bermain bersama mereka membuatku kelelahan. Keringat mengucur membasahi kaos yang kupakai.
“Teman-teman istirahat dulu yuk,” ajakku.
Mereka segera berkumpul dan duduk bersama sambil meneguk air mineral yang tadi kami bawa.
“Oh ya... Don. Boleh tidak aku tanya sesuatu sama kamu?” tanyaku kepada Doni.
“Boleh..., mau tanya apa?” jawab Doni sambil menutup botol mineral yang diminumnya barusan.
“Begini Don..., kamu tadi kan melarang kita buat main di kali dekat sawah itu kan? Memangnya kenapa sih Don?” tanyaku untuk menjawab rasa penasaran yang  kurasakan.
Doni diam membisu. Wajahnya seketika pucat pasi. Dia nampak gelisah dan gugup. Sepertinya benar dugaanku, kalau Doni memang menyembunyikan sesuatu.
“Jawab Don, kok malah diam?” tanyaku lagi.
Ia nampak semakin gugup dan gelisah. Ia ragu-ragu untuk mengatakan yang sebenarnya.
“E..e..ee....,  begini teman-teman..., kata orang-orang kali di dekat sawah itu......, eeee...ee...eee....,” kata Doni terputus-putus dan tambah cemas.
“Kenapa Don?? Ayo cerita..., biar kita tahu??” desak Ito yang juga semakin penasaran dibuatnya.
“Kali itu..., kali itu angker!!” kata Doni dengan cemas.
“Angker...???” celetukku dan Ito serentak sambil melotot. Lalu kami saling berpandangan. Kami tak percaya dengan apa yang dikatakan Doni.
“Maksudmu gimana Don? Angker... angker bagaimana??” tanya Ito.
“Konon katanya..., ikan yang ada di sana bisa membuat siapapun yang memakannya keracunan karena sungai itu ada penunggunya. Jadi, sekarang tidak ada yang berani memancing ikan di sana” jelas Doni.
“Apa??? Memangnya apa buktinya Don? Masa sih zaman sekarang masih ada hal semacam itu? Itu pasti cuma mitos Don!!” kataku menyanggah cerita Doni.
“Terserah kalian mau percaya atau tidak, yang jelas aku sudah memperingatkan kalian. Kalau terjadi apa-apa aku angkat tangan,” kata Doni.
“Iya... iya....,” kata Ito.
Sinar mentari mulai terhalang awan merah jingga di ufuk barat. Pertanda malam akan segera tiba. Saatnya kami pulang ke rumah masing-masing.
Gumpalan mendung putih memenuhi langit siang ini. Mentari nampaknya malas menampakkan sinarnya hingga ia harus sembunyi di balik gumpalan awan putih itu. Aku pergi bermain bersama teman-teman. Kami hendak pergi ke lapangan seperti biasanya. Saat sampai di perempatan jalan kampung, kami bertemu Kang Sutar. Ia adalah warga baru di kampung kami yang tinggal seorang diri di dekat rumah Ito.
“Mau ke mana Kang?” sapa Ito.
“Eh... Ito..., ini lho, Akang mau mancing di kali,” jawab Kang Sutar yang kala itu membawa kail dan umpan pancingan.
“Oh... ya sudah mari Kang,” kataku.
“Ya mari-mari,” kata Kang Sutar sembari melanjutkan perjalannya ke arah persawahan.
Tiba-tiba aku teringat suatu hal.
“Bukankah kali di kampung ini hanya ada satu tempat saja? Dan satu-satunya kali di kampungku hanya kali di dekat persawahan di pojok kampung yang konon katanya angker itu?” kataku dalam hati.
Lalu sepintas kulihat Doni dan Ito. Nampaknya mereka tak punya feeling apa-apa. Itu terbukti dari ekspresi mereka yang biasa-biasa saja.
“Ah... sudahlah. Semoga tidak terjadi apa-apa,” kataku dalam hati sembari melanjutkan perjalanan.
Langit biru mengangkasa di cakrawala. Mentari amat riang. Sinarnya begitu terik hingga saat kumenengadah ke arah langit, mentari nampak tersenyum melihatku yang bermandikan keringat. Hari itu aku pulang sekolah bersama teman-temanku. Seperti biasanya, kami berbincang-bincang sepanjang jalan.
“Eh.., tunggu ..tunggu..., lihat itu,” kata Ito sambil menunjuk ke ujung jalan di kejauhan. Di sana nampak warga yang berduyun-duyun menuju ke arah kami.
“Ada apa ya To... Don..? tetangga kita itu mau ke mana?” tanyaku penasaran.
“Entahlah...aku pun tak mengerti. Lebih baik kita tanya saja kalau mereka sudah mendekat.
“Lho...,itu kan Ibumu To?” kataku sambil menunjuk sseorang Ibu yang mengenakan baju dan jilbab warna merah.
“Iya benar. Mau apa Ibu ikut warga ya?” tanya Ito.
“To..., lebih baik kamu tanya Ibumu To..!!” kata Doni.
Ito lalu mengangguk dan segera menghampiri Ibunya di tengah-tengah warga.
“Bu.., ada apa sih Bu? Ibu mau ke mana?” tanya Ito cemas.
“Ini lho nak, Ibu mau menjenguk Kang Sutar. Kabarnya Kang Sutar sakit,” jelas Ibu Ito.
“Sakit..??? Sakit apa Bu??” tanya Ito sambil mengernyitkan keningnya. Kami yang mendengarnya pun terheran-heran.
“Ibu juga belum tahu nak, makanya Ibu mau ke sana dulu. Kamu langsung pulang ya nak!! Hati-hati!” kata Ibu Ito sembari melanjutkan perjalanannya.
“Iya... Bu,” jawab Ito.
Berita itu sungguh mencengangkan. Namun, karena panas mentari yang amat menyengat tubuh, kami memutuskan untuk segera pulang dan melupakan masalah itu sejenak.
Langit yang semula cerah berubah menjadi redup. Gumpalan awan hitam berarakan di angkasa. Itu pertanda sebentar lagi akan turun hujan. Rencanaku bersama Doni dan Ito batal sudah. Aku kemudian duduk di teras rumah sambil memandangi langit yang semakin lama semakin redup.
“Assalamualaikum....,” teriak Ito yang tiba-tiba sampai di depan rumahku.
“Walaikumsalam.....,” jawabku setengah kaget.
“Kok melamun aja sih, kenapa? Ada masalah?” tanya Ito yang memang orangnya pedulian.
“Enggak..., To. Tidak ada apa-apa. Oh ya ada apa kok tiba-tiba kalian ke sini?” tanyaku sambil mengajak mereka duduk.
“Sebenarnya kami ingin memberitahumu suatu hal, tapi kamu harus janji dulu. Setelah kuberi tahu, kamu tidak boleh cerita kepada siapapun.!” jelas Ito kepadaku.
“Iya.. iya.. memangnya ada apa sih To.., Don? Kalian kok serius banget sih, nggak seperti biasanya deh??” tanyaku penasaran.
“Sssstttttttsssssss.., tapi bicaranya pelan-pelan saja ya., biar tidak terdengar sama orang lain, mendekatlah,” kata Ito sambil berbisik-bisikdan mendekatkan kepalanya kepadaku. Aku pun mendekat.
“Begini.., kata orang-orang Kang Sutar sakit gara-gara makan ikan yang dipancingnya di kali angker itu lho...,,” cerita Doni.
“Apa?????” teriakku spontan.
“Ssssttttssssssssss....., jangan keras-keras,” kata Ito sambil menutup mulut dengan jari telunjuknya rapat-rapat.
“E..eeh.. iya...,iyaa.. maaf..” kataku.
“Untung saja..., kita tidak jadi main di sana waktu itu,” kata Doni.
“Iyaa...yaa..Don...,” kataku.
Tapi aku tak percaya dengan apa yang mereka ceritakan. Ribuan pertanyaan bermunculan di kepalaku. Apa benar kali itu angker? Apa mungkin kali itu ada penunggunya? Apa benar ikan di situ beracun karena penunggunya marah? Apa semua hal itu benar adanya?
“Ah..., sulit sekali dipercaya? Masa sih? Sekali lagi aku tegaskan itu cuma mitos. Ya, itu cuma mitos!” kataku dalam hati.
“Heii..., kenapa kamu?” gertak Doni membuyarkan lamunanku.
“Enggak... nggak kenapa-napa.”
Tiba-tiba terlintas di anganku. Sepertinya ada yang ganjil dari mitos yang beredar baru-baru ini.
“Heemmmm... proyek petualangan yang seru nih..” kataku dalam hati sambil senyum-senyum sendiri.
“Ya sudah, kalau begitu kita balik dulu yaa...” kata Doni sambil beranjak.
“Ya, hati-hati di jalan,” kataku.
Mereka pun pulang.
Teng... teng... teng..., bel istirahat berbunyi. Semua anak di kelas berhamburan keluar terkecuali aku, Ito, dan Doni. Aku lalu mendekati mereka.
“Hei... teman-teman.., nanti siang mau tidak aku ajak  ke suatu tempat” ajakku.
“Ke mana?” tanya mereka bersamaan.
“Ada deh..., kalian mau tidak?”
“Ya...yaa.. kami mau,” kata mereka.
“Kalau begitu, nanti jam setengah tiga kumpul di tempat biasa ya..”
“Ok...,”
Setengah tiga kurang lima menit aku sudah berada di pertigaan. Sesekali kutengok jalan di kanan dan kiriku. Namun tak juga kulihat Ito dan Doni muncul dari jalan itu. Tak lama kemudian, munculah mereka.
“Rupanya kamu sudah datang duluan? Rajin kali kau ini?” kata Doni kepadaku sambil tertawa meledekku.
“Hehehe... Iya dong, emang kamu telat melulu..,” jawabku sambil senyam-senyum.
“Nampaknya kamu semangat sekali siang ini, memangnya kenapa sih?” tanya Ito.
“Biasa aja kok. Ya sudahlah kita kembali ke pokok permasalahan,” kataku
“Masalah apa sih? Aku tak mengerti?” tanya Ito memotong pembicaraan.
“Dengarkan aku dulu To, begini kawan aku ingin mengajak kalian untuk menyelidiki suatu mitos” jelasku.
“Ahaaa... terdengar sangat menarik, ya aku suka, aku pasti ikut bersamamu,” kata Ito kegirangan. Aku hanya menahan tawa melihat tingkah Ito. Rupanya ia tidak tahu apa objek penyelidikan ini.
“Kok kamu malah seneng sih To.., kita akan menyelidiki tentang suatu mitos. Itu pasti serem To..” kata Doni dengan wajah gelisah.
“Mau tentang mitos atau apalah itu aku tak peduli. Yang jelas aku suka petualangan,” kata Ito dengan percaya diri.
Ternyata dugaanku salah, Ito anak yang pemberani.
“Lalu apa rencana kita?” tanya Ito sambil menyingsingkan lengan bajunya.
“Eemm...., kita akan pergi ke tempat itu sekarang, ke kali di pojok kampung,” kataku jelas.
“Apaa????” teriak Doni tiba-tiba.
Aku dan Ito saling berpandangan. Kami heran melihat sikap Doni barusan. Ada apa dengan Doni? Kami pun bertanya-tanya.
“Tidak! Aku tidak mau!!” celetuk Doni.
“Ya sudah kalau kamu tidak mau ikut! Kita akan segera berangkat,” kataku.
“Ya Don jangan buang-buang waktu. Kamu mau ikut apa tidak??” kata Ito.
Doni diam seribu bahasa. Raut wajahnya menandakan kalau ia sedang kebingungan dan khawatir.
“Ya sudahlah, aku ikut kalian saja,” kata Doni nampak ragu.
“Kalau begitu, ayo kita jalan sekarang,” ajakku tanpa rasa takut secuil pun meski kata orang kali itu angker.
Kami segera berangkat menuju tempat itu. Beberapa menit kemudian sampailah kami di tempat misteri itu.
“Sepi sekali tempat ini. Jangankan orang, burung terbang pun tak ada,” kata Doni yang kelihatannya mulai ketakutan.
“Ya..., iyalah sepi. Inikan musim kemarau, jadi tidak ada petani yang menggarap sawahnya Don,” jelas Ito.
Kali itu memang sepi. Karena terletak di dekat persawahan dan padang rumput ilalang yang luas, tempat orang-orang biasa menggembalakan kambingnya.
Aliran airnya bergemuruh saat melewati bongkahan batu besar. Arusnya deras, dan di tepi kali itu berdiri kokoh sebatang pohon beringin berdaun lebat yang menaungi kali itu. Sehingga sekitar kali itu teduh, tenang, agak gelap, namun juga menyeramkan.
“Kita sudah berjalan lama sekali, tapi tak juga mendapat petunjuk,” kata Ito yang mulai kelelahan.
“Siapa bilang kita belum dapat petunjuk? Lihat itu?” kataku sambil menunjuk gumericik air yang melewati celah-celah batu. Tiada henti bersuara yang berasal dari parit-parit besar yang bermuara di kali itu. Salah satunya parit besar dari persawahan. Airnya jernih, tapi mitosnya ikan di kali itu mematikan.
“Aliran air? Apa maksudmu? Kami sama sekali tak mengerti?” tanya Ito sambil menggelengkan kepala.
“Alamak......, masa kalian belum paham juga? Ya sudah ikuti saja aku, jangan banyak tanya dulu,” kataku mulai kesal.
Kami terus menelusuri tempat itu.
“Kawan..., perhatikan itu! Di dasar aliran kali ini nampak banyak sekali tumbuhan enceng gondok yang tumbuh di dalamnya. Itu berarti air ini mengandung zat kimia. Sehingga enceng gondok bisa tumbuh subur di air kali ini” kataku.
“Lalu apa dugaanmu??” tanya Doni.
“Aku belum bisa memastikan apa yang sebenarnya terjadi.”
Kami terus mengamati kali itu dengan seksama. Penemuan-penemuan itu memberikan titik terang dalam penyelidikan mitos ini. Tinggal beberapa petunjuk lagi aku bisa menyimpulkan apa yang terjadi.
“Kawan! Perhatikan itu!!” kata Ito sambil menunjuk sebuah parit dari arah persawahan yang terletak beberapa meter dari tempat kami berdiri. Parit itu berada diantara semak-semak dan rumput ilalang.
“Benar katamu To..., Ayo, kita segera mendekat,” kataku sambil berjalan mendekati parit itu.
“Astaga,..., coba perhatikan air itu!!” teriakku spontan sambil menunjuk aliran air di parit itu.
Aku terperanjat bukan main melihat aliran air dan persawahan itu berwarna putih keruh.
“Iya..., air itu berwarna putih keruh, sepertinya air itu terkontaminasi dengan suatu zat!” kata Ito.
“Ya To..., benar sekali, sebaiknya kita turun untuk memastikannya,”ajakku kepada mereka.
Kami segera turun melalui bebatuan untuk mengamati air di parit itu. Lantas, aku mengambil air itu dan kuperhatikan dengan cermat. Kemudian kucium air parit itu.
“Alamak...!! sepertinya bau air ini sudah tak asing lagi bagiku. Tapi, zat apa ya??” kataku sembari membuang air yang semula kugenggam.
“Coba ingat-ingat lagi..., aku yakin kamu pasti bisa mengungkap rahasia ini,” kata Doni.
“Ahaa..., aku ingat!! Bau ini adalah bau obat hama atau namanya pestisida, kawan!! Logikanya..., kalau air di parit ini berasal dari persawahan, berarti benar ini adalah sisa-sisa zat kimia dalam pestisida yang terbawa air hujan pada musim hujan tahun lalu sehingga baru terurai sekarang,” jelasku panjang lebar.
“Iyaa... iya... masuk akal juga pendapatmu itu. Lantas, apa kesimpulanmu terhadap mitos ini?” tanya Doni.
“Berarti..., ikan di kali ini beracun karena airnya banyak mengandung zat kimia pestisida dan zat kimia pupuk buatan dari area persawahan. Bukan karena kali ini ada penunggunya ataupun angker!!!” jelasku.
“Lalu apa hubungannya dengan enceng gondok yang tumbuh subur di dasar kali ini?” tanya Ito.
“Enceng gondok itu tumbuh subur karena zat kimia pupuk buatan yang larut dalam air hujan dan ikut mengalir sampai di kali ini,”
“Oh..., begitu...,” kata mereka sembari menghela nafas lega.
Senyum ceria mengembang di raut wajah kami. Akhirnya, mitos yang menjadi teka-teki itu terkuak hari ini.

Gimana?? seru nggak?? Ikuti terus postingan aku ya,,,
Buat inspirasi boleh, but jangan copas ya,,,,
Original itu lebih oke..☺️

























CERPENKU
Hai teman-teman, kali ini saya akan membagikan sebuah cerpen. Yuk, kita simak berikut ini.

 "GUNUNG GENI MURUB"



Kicauan burung-burung terdengar amat merdu. Semburat cahaya merah nampak di ufuk timur saat kusibakkan jendela kamarku. Udara sejuk nan melonggarkan dada mengembangkan semangat, menjernihkan pikiran, untuk mengawali hari ini. Aku segera beranjak dan bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Saat aku keluar rumah nampak teman-temanku di kejauhan. Seperti biasa, mereka mengajakku berangkat bersama. Kami berbincang-bincang sepanjang jalan.
“Heiii...., teman-teman tahu nggak? Kudengar dari orang-orang tadi malam, di gunung itu muncul cahaya yang menyeramkan lho.., dan katanya gunung itu keramat. Cahaya itu terlihat hampir setiap malam. Hiiii...., serem... ya..” kata Andi.
“Iya..iya..., aku juga mendengar cerita itu. Aku jadi takut kalau melewati jalan di sekitar gunung itu” kata Toni.
“Ahh..., masa sih segitunya. Itu cuma mitos, aku tak percaya” kataku menyanggah cerita mereka.
“Ehh..., kamu dikasih tahu kok gitu sih!! Nanti kalau kamu lihat sendiri baru tahu rasa lho!!” kata Andi mengancamku.
“Sudah-sudah jangan bertengkar terus. Kalian ini kok gak akur sih? Lihat sekarang jam berapa? Ayo cepat nanti terlambat!” kata Toni sambil menunjuk jam tangannya.
Cahaya merah padam menghiasi langit ufuk barat. Mentari telah menenggelamkan diri di balik pengunungan yang indah itu. Sayup-sayup suara adzan diiringi tabuh bedhug Maghrib bersahut-sahutan. Malam ini aku dan teman-teman ada pengajian di mushola. Sehabis shalat Maghrib, aku segera berangkat dengan mengenakan kopyah, baju koko, dan sarung tenun lantas membawa kitab suci, layaknya santri. Aku berangkat bersama teman-teman.
Pukul sembilan malam pengajian usai. Namun celakanya, teman-temanku dijemput orangtuanya. Mungkin nasibku malam ini harus pulang sendirian. Terlintas di benakku sebaiknya aku pulang lewat jalan pintas saja agar lebih cepat sampai di rumah. Sampailah aku di jalan dekat gunung itu. Tiba-tiba kuteringat ucapan Andi tempo hari. Apalagi ini malam Jum’at Kliwon. Aku tiba-tiba deg-degan. Bulu kudukku berdiri dan badanku merinding. Apalagi jalan ini sepi sekali. Aku terus melangkah walaupun terbayang-bayang sejuta kemungkinan yang akan terjadi di depanku. Tiba-tiba kulihat kilatan cahaya dan suara aneh. Jantungku berdegup kencang dan hatiku berdebar-debar. Satu dua langkah kilatan cahaya semakin jelas di lereng-lereng gunung yang keramat itu. Tiga empat langkah benar-benar kulihat cahaya menyala-nyala di lereng. Sontak aku terperanjat dan segera lari tunggang langgang hingga sampai di rumah nafasku terengah-engah. Aku menepuk-nepuk pipi, sesekali mencubit tanganku. Ah..., rasanya sakit. Berarti aku tak sedang bermimpi. Kukira itu hanya mimpi belaka. Namun, kejadian tadi nyata. Aku penasaran sekali dan aku harus mencari tahu.
Siang ini aku pulang bersama teman-teman. Cuaca hari ini agak murung. Gumpalan mendung putih menghiasi cakrawala hari ini.
“Teman-teman...., nanti mau nggak kuajak ke suatu tempat?” kataku.
“Ke mana??” tanya Toni.
“Ada deh..., mau nggak?? Kalau mau nanti kalian kumpul di pertigaan ya...”
“Ya...ya...,” jawab mereka serempak.
Tibalah waktu yang disepakati. Aku datang paling awal di sana. Tak berapa lama kawan-kawan pun datang dan langsung menyerbuku dengan ribuan pertanyaan.
“Eh...., ada apa sih, kok kita disuruh kumpul?” tanya Andi.
“Sabar kawan..., begini lho, tadi malam aku pulang sendirian, terus lewat jalan di dekat gunung keramat itu” kataku.
“Maksudmu? Gunung itu?” tanya Toni sambil menunjuk ke arah selatan.
“Iya...,” kataku.
“Lantas, apa yang terjadi?” tanya Andi
“Seperti yang kamu katakan kemarin” jawabku santai.
“Apa???” teriak mereka heran.
“Jadi....,” kata Toni terputus-putus.
“Iya..., tapi tunggu dulu. Justru karena itu aku ingin mengajak kalian untuk menyelidiki kejadian sebenarnya” kataku.
“Maksudmu?” teriak mereka sambil mengernyitkan keningnya.
“Kita mencari tahu. Apakah benar yang dikatakan warga, kalau gunung itu ada penunggunya,” kataku.
“Lalu...??” tanya mereka masih tidak paham.
“Kita akan ke gunung itu sekarang,” kataku jelas.
“Apa???” kata mereka sambil melotot.
“Tidak! Kami tidak mau!!” kata Andi.
“Ayolah... aku jamin tak kan terjadi apa-apa kok? Kalian tenang saja.” kataku.
“Kamu ini aneh-aneh saja sih!” kata Toni.
“Ayolah..., kalian benar nggak mau bantu aku, beneran!!” kataku membujuk.
“Ya..., sudahlah..., kami mau demi kau,” kata Toni.
“Gitu dong..., itu baru namanya teman sejati.” kataku sambil senyum-senyum. Teman-temanku nampak tak bersemangat dan memalingkan muka.
“Ayo jalan sekarang,” kataku.
“Iya... ayo” kata Andi.
Kami segera berangkat menuju gunung itu. Kami terkejut saat melihat abu-abu sisa pembakaran di lereng gunung itu. Kami telusuri terus dengan hati-hati. Sisa abu itu seperti telah diambil oleh seseorang, karena nampak ada cakaran tangan. Setelah beberapa meter dari tempat itu kami menemukan sebuah bendayang taka sing lagi. Ini pasti perbuatan manusia. Tak mungkin kera ataupun mahkluk halus. Kami semakin mendapat petunjuk ketika kami melihat ada jejak-jejak kaki. Yang paling jelas kami melihat sabit yang tertancap di sebuah pohon di gunung itu. Kami semakin penasaran. Penemuan itu memberikan titik terang atas penyelidikan mitos ini. Terlihat di kejauhan ada sebuah gubuk. Kami segera menghampirinya. Dengan pelan-pelan dan hati-hati mendekati gubuk itu. Semoga ini semua adalah akhir dari segala teka-teki yang menakut-nakuti warga desa. Tiba-tiba muncul seorang kakek dengan caping di kepalanya dan baju lusuh melekat di badannya. Sontak membuat kami kaget bukan main.
“Jangan takut nak? Aku hanya manusia biasa,” kata kakek yang bercaping itu.
Kami menghela nafas lega.
“Kakek bolehkah kami singgah di gubuk kakek?” tanyaku.
“Boleh nak, mari..,” ajak kakek.
Kakek itu duduk dan membuka capingnya. Alangkah terkejutnya aku, ternyata dia adalah.............,,
“Kakek!!” teriakku spontan.
“Iya,... ini kakek” kata kakek sambil tersenyum.
“Kek.., bolehkah saya bertanya?” tanya Andi.
“Boleh. Mau tanya apa?” kata kakek.
“Begini kek? Kami sering melihat api di lereng gunung ini kek? Kata orang, itu adalah mahkluk halus kek? Apa benar itu?” tanyaku.
“Oh .. itu. Sebenarnya mitos itu tidak benar adanya. Api yang berkobaran malam itu sebenarnya kakek yang menyalakan” kata kakek.
“Jadi...!! semua itu tidak benar ya kek? Lalu, kenapa kakek melakukan itu?” tanya Andi.
“Kakek melakukan itu untuk mengusir babi hutan yang suka mengganggu tanaman warga,” jelas kakek.
“Oh... jadi begitu kek. Pantas saja setiap malam menjelang panen kakek tidak ada di rumah,” kataku.
“Bukan itu saja, kakek melakukan itu untuk menakut-nakuti orang yang suka menebang pohon di gunung ini,” jelas kakek.
“Waahhhh...., berarti kakek punya jasa besar untuk warga desa ya kek,” kataku.
“Aaahhh.., biasa saja. Tapi ada satu hal yang harus kalian catat!” kata kakek.
“Apa kek?”
“Kalian harus janji. Tidak boleh bercerita kepada siapapun tentang kakek dan nyala api itu,” kata kakek.
“Ya kek janji..janji..,” kata kami serempak sambil tersenyum lega.
“Gimana kek, kalau gunung ini kita namai “Gunung Geni Murub”?” kataku.
“Ya..., kakek setuju kalian memang anak cerdas dan pemberani,” kata kakek dengan wajah sumringah.
Senyum ceria mengembang di raut wajah kami. Akhirnya, mitos yang menjadi teka-teki itu terkuak hari ini.

 Dulu, cerpen aku ini pernah aku ikutkan di FLS2N tingkat Kabupaten Pacitan, tapi sayang aku belum beruntung. Silahkan dibaca untuk menambah pengalaman dan inspirasi, tetapi jangan sampai copas ya,,. karya sendiri itu lebih baik kawan...
Semoga bermanfaat,  ikuti terus postingan selanjutnya.