27 Juli 2020

Berkate Durung Teka Dening: Risma Wigati


Berkate Durung Teka
Dening: Risma Wigati

Ricih-ricih swarane banyu udan tumetes saka talang. Bola-bali tak tiliki, kira-kira gek teka opo ora. Krungu-krungu kabar, Pak Dul bengi iki syukuran amarga anake ketampa PNS. Mesti sing padha kondangan entuk berkat. Ha..ha..ha..
Jam 9 wes punjul sprapat. Tanggaku kayane wes mulih. Tapi.., kok ora ana sing toktok lawangku. Kesuwen lehku nunggu nganti krasa ngantuk-ngantuk.
Kelingan jaman semana...,
Sore-sore.., aku penak-penak nyapu emper. Resake pating kledhang, amarga godhong trembesi kulon omah garing kabeh. Nanging ana lempitan kertas putih nek ngisor lawang. Apa kui? Batinku. Banjur tak jupuk, ehh jebule atur-atur syukuran. Bungah atiku, nek ngene ki mesti Bapak mengko bengi kondangan. Wkwkkwkw....,  age-age atur-atur kui takcaoske Bapak.
Aku karo mbakku, pancen seneng banget yen Bapak kondangan amarga bakale entuk berkat. Embuh nyapa, nunggu berkat teka saka kondangan kui rasane marem banget. Wkwkwkwk....., masio berkate jane biasa-biasa wae. Ha..ha..ha..,
“Mbak, aja turu dhisik, kondangan ke bare jam 9 luwih lho...”
“Iyo..iyo dekk, tenang wae...” jawabe Mbakku karo ngguya-ngguyu.
Jam 9 punjul seprapat., aku karo mbakku ws siap-siap mbok menawa Bapak teka.
“Des.. Ris.. Bapak teka iki lho...” swarane Bapak...
“Iyo pak...,” aku karo mbakku banjur gembrudug age-age mbukakne lawang..
Bar bukak lawang...
“Berkate..berkate Pak...,” aku wes ora sabar..
“Iki lho...” jawabe Bapak karo maringne tas berkat menyang aku.
Aku karo mbak banjur mlayu nyang ngarep tv, biasane nek enek berkat ngunu kui, didudohne Mamak disik, sakdurunge dimaem bareng-bareng. Wkwkwk..,
Pancen nyenengne..., ora masalah berkate.. ora masalah maemane.., tapi marem wae yen nunggu berkat kondangane Bapak.., wkwkwkw...
.............,
“Thuk..kethuk.., nyapo to.. enek ngarep lawang terus? ayo turu, wes jam sepuluh..,” Mamak nyeluki aku.. marai ambyar nglamunku.. ora kerasa wes jam sepuluh temenan. Lumrahe jam semene Bapak-bapak kondangan wes padha kondur.., tapi.. awit mau...???? Tingak-tinguk tak sawang njaba, nanging ora ono sopo-sopo.  Apa mula, berkate durung teka..???
Tumetes eluhku.., sejatine ora mung berkat sing tak tunggu, nanging ..., Bapak....
Bersambung.....,,,

04 Mei 2020

Sepatu Untukmu Nak,


Sepatu Untukmu Nak..,
Oleh: Risma Wigati

Angin sepoi-sepoi menggiring helaian daun kering membuyarkan lamunanya. Pohon beringin yang rindang itu memang teduh tetapi guguran daunnya memang tak sedikit. Ia segera tersadar dari lamunannya. Rupanya masih banyak sisi taman yang mesti ia bersihkan. Meskipun, keringat bercucuran membasahi punggungnya.
Pundi-pundi rupiah selembar demi selembar ia kumpulkan. Memang tak banyak tapi cukuplah untuk mengganjal perut dan sisanya membayar kontrakan yang sempit, kosong, hanya ada tikar segulung dan meja di pojok ruang itu. Seringkali, raut wajahnya sendu, memang usianya yang sudah menginjak kepala empat itu, membuat keriput di kantong matanya semakin jelas. Apalagi, air  matanya yang sesekali membengkakkan matanya.
Iwan, itulah namanya. Ayah satu anak yang lama hidup sendiri karena ditinggal isterinya. Bekerja sebagai tukang sapu taman yang tiap hari mengais rezeki dari guguran daun di bawah pohon beringin. Hampir setahun ia merantau di kota, sendiri., berteman sepi.
Suatu hari, ia menyapu di dekat lapangan bola. Senyum mulai menghiasi wajahnya. Nampak ia bahagia melihat anak-anak yang sedang bermain bola. Tiba-tiba bola menuju ke arahnya. Iwan pun sigap menangkap dan mengembalikan pada seorang anak, sambil melempar senyum. “Makasih, Om” kata seorang anak itu. “Sama-sama Nak,” jawab Iwan sembari mengusap peluhnya. Sejenak, wajahnya memerah seakan air matanya ingin menetes begitu saja, entahlah perasaannya mendadak campur aduk.
Hari demi hari pundi-pundi rupiah yang Iwan kumpulkan rupanya sudah cukup untuk membeli sebuah kado. Ia memutuskan untuk pulang kampung. Sebelumnya ia sempatkan mampir ke toko sepatu di seberang jalan. “Pak, ada sepatu bola untuk anak-anak usia 6 tahun?” tanya Iwan. “Ada mas, silahkan dipilih-pilih, bagus, murah pula.” Kata si penjual. Iwan pun menunjuk sepatu yang modelnya lumayan bagus, sayang ia begitu kecewa ketika melihat bandrol harganya. Sesekali ia menengok kantongnya. Ya, tidak cukup. Kalau dipaksa membeli, ia tak bisa membayar bus. Akhirnya, ia memilih sepatu yang lebih murah. Senang sekali hati Iwan rupanya. Segera, ia pergi ke terminal. Ia pun naik bus ekonomi, panas memang, berdesakan pula, tak apalah. Asalkan sampai kampung sesegera mungkin.
Perjalanan memakan waktu cukup lama, tibalah di pinggiran hutan. Sttttssssss......, sopir nampaknya berhenti mendadak. Naiklah seorang laki-laki tinggi besar, hitam, dan tato di kedua lengannya. Sontak membuat Iwan terkejut. Laki-laki itu kemudian merebut tas seorang ibu-ibu di bangku depan. Entah mengapa penumpang lain hanya diam, seakan sangat maklum dengan peristiwa itu. Namun, tidak dengan Iwan, ia menuju ke arah laki-lak itu dan berusaha merebut tas ibu-ibu. Namun, naas Iwan justru dipukul dan di dorong keluar bus. Iwan bergelimpangan di pinggir jalan. Begitu ia turun, yang pertama kali ia cari ialah sepasang sepatu yang ia semula ia pegang. Untunglah sepatu itu jatuh tidak jauh dari tempatnya. Iwan pun memutuskan mencari angkutan yang menuju desanya masih ada 10 km lagi agar ia sampai di desanya. Tak lama kemudian, datanglah sebuah truk yang kebetulan melewati desanya. Setelah meminta izin ia pun diperbolehkan menumpang. Hutan-hutan belantara di laluinya. Hanya satu dalam benaknya, segera sampai di desa.
Masuklah Iwan di gapura desa. Begitu senang hatinya, ia segera turun dan berjalan beberapa kilo melewati perkampungan. Di lihatnya rumah-rumah tetangganya di kanan kiri jalan, membuatnya rindu. Iwan terus berjalan melewati ladang dan sawah. Kemudian ia tiba di pinggir lapangan bola, terlihat anak-anak kecil bermain bola dengan riangnya. Tapi,, ia tak melihat seseorang yang dirindukannya. Iwan pun kembali berjalan.
Sampailah Iwan di gapura sebuah pemakaman. Segera ia berlari ke arah gundukan tanah dengan batu nisan di salah satu ujungnya. Iwan menangis tersedu-sedu. Meratapi makam itu. “Nak.., ayah datang...., membawakan sepatu yang kamu inginkan,,” bisik Iwan dengan ratapannya. Ia begitu meratapi nasib anak semata wayangnya itu. Dulu, Iwan tinggal berdua dengan anaknya setelah isterinya minggat saat anaknya berusia 2 tahun. Iwan sering menemani anaknya bermain bola dan bersorak sorai saat anaknya berhasil menggiring bola ke gawang. Hingga suatu ketika sang anak meminta dibelikan sepatu bola, tapi karena Iwan tak punya uang, Iwan tak bisa membelikannnya.
Malang betul nasib anak Iwan, saat mereka hendak pergi ke pasar, ia tertabrak mobil hingga pergi selama-lamanya. Ia menjadi korban tabrak lari yang sangat tragis. Kepergian anaknya membuat Iwan begitu terpukul dan bersedih.
Iwan terus meratap di nisan anaknya, sembari meletakkan sepatu di makam itu.
assalamualaikum temen temen, jumpa lagi nih di postingan selanjutnya. yuks, disimak ceritanya.


Dari Ulur sampai Panen
Oleh: Risma Wigati

Otot kawat tulang besi, bolo sewu,  dan masih banyak lagi ungkapan konyol yang dilontarkan orang-orang padanya. Perempuan ini memang beda. Orang-orang sering heran dengan kegiatannya. Bagaimana tidak? Ibu dua anak ini sangat giat bekerja. Anak sulungnya yang cantik telah menikah, dan bekerja sebagai pengajar. Anak bungsunya, yaitu aku.. sedang kuliah.
Musim panen padi tahun ini, memang lumayan menyulitkan untuknya. Sawah ladangnya memang tidak banyak, namun cukup luas. “Aduhh.., nak! Padi di sawah kita ambruk, sampai-sampai tetanggamu mau buat sawah Emak untuk main bola” kata Emak padaku sambil menghela nafas. Kulihat raut wajahnya yang sendu, memikirkan semua tanggung jawab dan pekerjaannya. Sesekali, ia mengusap peluhnya dengan telapak tangannya yang keras dan tebal. Aku sedih belum bisa membuatnya bahagia.
Libur akibat wabah ini, memang membawa berkah bagiku dan Emak. Betapa tidak, jika aku tak ada di rumah, siapa yang akan membantu Emak panen padi di sawah? Emak harus ke sawah sendirian, karena nenek sudah tua. Dari menanam padi, menyiangi rumput, sampai panen dikerjakannya sendiri. Tak hanya itu, ia masih harus mengurusi ternak sapi kesayangannya. Sampai-sampai punggungnya sakit karena menggendong kolonjono terlalu banyak. Sebab itulah, banyak orang yang heran dengan kuat tenaganya, yang hampir tidak dimiliki orang lain. Namun, bagiku Allah-lah yang menguatkan Emak, menguatkan tenaganya karena tekadnya untuk menghidupi keluarga yang begitu besar. Semenjak, 6 tahun silam, Bapak meninggalkan kami untuk selamanya, Emak bertekad agar bisa menyekolahkan anak-anaknya sampai setinggi-tingginya. Sungguh, memilukan cerita ini.
Emak tak menghiraukan panas terik yang kian membakar punggung dan  mengucurkan keringatnya. Hampir sebulan aku dan Emak panen padi di tiga tempat. Semuanya, dikerjakan sendiri oleh Emak. Mulai dari ngarit, gepyok padi, sampai mengusung padi puluhan bagor ia kerjakan sendiri. Aku yakin banyak orang yang takkan percaya kalau tidak melihat faktanya sendiri. Makanya, orang-orang sering bilang Emak punya bolo sewu artinya bala bantuan seribu. Wkwkwk, sungguh begitu lucu ku mendengarnya. Seperti yang kubilang tadi, meskipun libur aku tetap kuliah online, banyak tugas memang. Tapi, tak apalah selama aku bersama Emak, aku kuat menjalaninya. Makanya, setiap hari libur aku di sawah, Senin sampai Kamis aku berangkat sehabis Dhuhur. Karena paginya masih ada tugas dan diskusi online. Tak jarang hape kesayangannku yang menurutku harganya mahal, kubawa ke ladang, saking takutnya kalau ada info mendadak. Aku pun pernah menjawab pertanyaan saat diskusi di gubuk, pernah juga disemprot Dosen karena pertanyaanku terlalu banyak, padahal saat itu aku sedang membantu Emak mengusung gabah puluhan bagor itu. Terkadang nyesek juga, tapi biasa sajalah.., hidup itu kalau nggak nano-nano nggak asyik namanya nggak ngalami seninya hidup.
Terik sinar mentari tak pernah menyurutkan langkahnya. Semua kesulitan hidup tak pernah menurunkan semangatnya. Emak sudah bertekad cukup ia saja yang menjadi petani. Anak-anaknya jangan, sehingga ia ingin mewariskan ilmu kepada anak-anaknya. Karena baginya, ilmu akan membawa anaknya menuju kehidupan  yang  lebih baik. Usai panen padi, pekerjaan ulur kacang pun menanti. Lagi-lagi bolosewunya Emak beraksi. Nyatanya Emak mencangkul papan sawah itu sendirian meskipun  Emak sedang puasa. Semua kegigihan dan semangat Emaklah yang selalu menguatkanku. Membuat aku lebih bersyukur atas semua keadaan ini. Sangat mungkin, di luar sana ada yang menginginkan hidup seperti kami. 

nahh, itulah cerita kali ini, silahkan like and coment ya... 

14 Juni 2019

Aku Sebel mbi Kowe!!!




Cerita baru nih. Yuk, simak baik-baik ceritanya. Selamat Membaca...



“Aku Sebel  mbi Kowe!!”

Esuk iku, aku mlaku bareng karo Putri. Sakdawane dalan awake dhewe jagongan babagan tugas.
“Ris, penake kapan iki arepe garap tugas?  Ben gek rampung ngono lo karepku”.
“Mengko sore yo tak nyang kosanmu Put,”
“Oke, nek ngunu lak genah. Marai ngerti dhewe to dosene.. hemmm ora umum galake” Putri kumat ngumenge.
“Ha.. haa..ha.., ora lo apikan kok” jawabku karo ngguyu kekel.
“Iyo.. apik nek karo kowe. Kepiye meneh wong kowe ke pinter tur kesayangane  gek?” jawabe Putri karo mlengos, sajak ora meneri yen aku  ngomong ngono maeng.
“Ora loo..” aku ijik tetep kudu ngguyu. Sakike Putri sepaneng amarga jagongan dosen galak kimaeng, ujuk-ujuk…..
“Bruuukkk” Putri tiba sak buku-bukune amarga ditubruk  bocah sing liwat. Sakjane aku reti noke arep dakandani uwes kadung ditubruk
“Hyuhhhhh, kepiye to sampeyan iki?? Mbok ya nek mlaku ke ndelok-ndelok to aja asal nubruk! Ke loo bukuku niba kabehh..” Putri ngumeng karo mbesengut. Aku enggal ngewangi Putri.
“ Yo maaf Put, aku ora ngerti. Aku maeng ke buru-buru. Kowe maeng sih yo ora ndelok-ndelok.” Jawabe Ardi kanca beda jurusan, ananging uwes nate kenalan.
“Lho, kok malah nyalahne aku, aku kan ora ngerti, kowe nek buru-buru yo ora ngerti situasi to mas?”
Putri samsaya ndadi ale ngumeng. Najan bocahe ngeyel tur cerewet.
“Uwes Put, mung ngono we kan pada-pada ora ngertine. Ardi yo uwes minta maaf aja nesu-nesu enek kene Put. Aku isin nek pada weruh mengko”.
“Yo wes ayo ngalih!” jawabe Putru karo mlengos.
“Maaf yo Di, Putri ora sengaja”
“ Iyoo Ris, ora opo-opo lo” jawabe Ardi.
Nganti tekan kelas Putri  isih ngumeng gara-gara ditubruk Ardi maeng. Hemm.., kadang-kadang nyebelke arek iki nek lagi ngumeng. Aku kur trima meneng wes ngerti wateke we.. sing waras wajibe ngalah, batinku.
Dina iki dina Kemis. Wayahe aku lan kanca-kanca kabeh ngumpulne KTI. Hemm.. ananging Putri isih gembyeng amarga mang bengi dekne kelalen ora njilidne karya tulise. Isuk-isuk dekne uwes marani aku ngajak nyang fotokopian arepe njilid karya ilmiah kui mau.
“Rismaa…. Ayo gek nyang fotokopian baturana aku!”
“Hyungalahh.. iyo iyo sik, esuk-esuk uwes mrene bengak bengok kaya wong arep nagih utang wae kowe ke” sauranku karo ngumeng.
Uwes ora usah protes gek ayo!” prentahe uwes ngalah-ngalahne komendan.
“Nggih ndoro sekedap,,” jawabku karo gedheg-gedheg.
Bareng tekan ndalan…
“Put, yahmene apa wes ana fotokopian sing bukak? Delengen to saiki jam pira?”
Putri enggal-enggal nonton jame.
“Hmakkkk! Lagek jam setengah 7?? dekne njumbul.
“Biasa wae keleessss…” jawabku.
Yo durung bukak Ris nek yahmene. Gek kepiye Ris?? Mangkakno kingko jam 5-6 wes kudu dikumpulke nyang dosen galakk kae??? kepiye Riss jale ewangana mikir!” takone Putri wess kiwit gembyeng.
“Engko sik to tak mikir”.
“Ahaaa,,, aku nduwe ide. Uwes ngene we mengko lak bar jam ke 2 enek ngaso, lha ayo ijin metu njilidke iki, kepiye? Mathuk?”
“Iyo wes karepmu aku melu sing penting baturana,”
Oke ndoro,”
Akhire Putri sepakat lan adewe banjur neruske laku.
Jam 9, aku karo Putri age-age metu saperlu ngeprinke KTI kui mau. Ananging sakik panike, Putri ora ngengetne dalan, akhire……
“Brrruuukkkkkkkkkk!!!!!!!” bubar buyar kabeh lembaran karya tulise Putriii. Geneo???
“Hmmakkkk karya tuliskuu???????” Putri saya panik, akhire dekne ngengetne wong sing nubruk dekne ternyata….???
“Kowe meneh? Jane ke kowe nek mlaku ke opo ora ngetne dalan to? Putri mbledak-mbledak meneh.
“Yo maaf Put, aku ora sengaja tenan Put.” Jawabe Ardi ngrumangsani.
“Maaf-maaf! Opo  remangsamu maaf bisa ndandani karya tulisku?? Ke coba delengen, bubrah kabeh, mangkakno kingko arep dikumpulake!” Putri saya ndadi karo nduding-nduding kertase sing wes bubar buyar.
Uwes Put, gek ayo dibenerne wae ora sah nesu-nesu.” Jawabku karo ngluroni kertase Putri.
“Pokoke aku njaluk pangapuramu. Kene tak ewangi ben gek rampung”. Ardi ngewangi njupuki kertase.
“Ora usah!!! Aku bisa dhewe!! Aku sebel mbi kowe!!!! Sebel tenan!” Putri malah nyentak-nyentak. Ardi karo aku mung domblong.
“Ayo Ris, dibenerke nek kelas wae” jawabe Putri kro age-age nglumpukne kertase.
Iyo Put”.
Dina iki, Putri katon bener bener pegel karo Ardi. Daksawang-sawang dee mrengut wae. Embuh kui mikir KTIne opo mikir Ardi aku yo ora weruh.
Tumuju ing sawijining dina, aku karo Putri arepe mulih menyang Pacitan. Dina kui aku boncengan karo Putri nganggo pite dekne.  Sakjam mlaku situasi aman terkendali. Ananging, ujuk-ujuk pite Putri malih dadi ora penak, saya suwe saya abot tur oleng, akhire awake dhewe mandeg.
“Geneo Put tek ora penak?” pitakonanku.
“Walaahhhhh nasib tenan Ris, adhewe kebanan!!!” saurane Putri nggarai aku njumbul.
“Heeee????? Ya ampun lha gek kepiye?? Iki daerahe alas-alas tur  adoh omah no Put? Arep telfon masku, masku ora nek ngomah?” aku mulai bingung.
“Iyo Ris nek kon mapak mesti suwe iki engko, kepiye yo??”
Nalika aku karo Putri bingung, Gusti Allah paring pitulungan. Ujuk-ujuk ana sing liwat terus mandheg nek ngarepku.
“Ana apa Ris? Kok mandheg ana kene?” pitakone karo aku, dak sawang Putri mlengos amarga kepethuk wong sing disebeli.
“Iki lo bane Putri bocor Di, gek iki adhewe bingung kepiye? Nek kene kan alas-alas adoh omah pisan. Adhewe ora reti ngendi sing bisa nambal ban”
“Ohhhalahh…., tenang wae Ris, tanggaku enek kok sing bisa nambal ban. Kebetulan ora patio adoh seko kene, paling satus meter engkas nanging rada mlebu. Kepiye gelem opo ora?”
“Tanggamu?? Lha omahmu opo daerah kene Di?” pitakonku.
“Iyo Ris, “
“Tenan ora iki?” pitakone Putri sajak isih gela.
“Tenan, aku ora arep ngapusi kok. Nek gelem sepedhahmu daktuntune. Koe karo Risma gawaen sepedhahku” jawabe Ardi marai lega atiku.
“Iyo Di, aku gelem matur suwun yo, malah ngrepoti”
“Sik… sik…sik..” Putri malah nyela-nyela.
“Opo neh?” jawabku setengah jengkel.
“Kowe kui lo Di, tek ijik gelem nulung aku, padahal uwes reti nek aku sebel karo kowe, aku yo uwes nesu-nesu nyang kowe, kowe tek apik men karo aku?” pitakone Putri.
“Put…Put kowe kui lo mbok yo aja kaya ngono to” aku melu nyela.
“Put, aku ikhlas nulung sopo  wae lan ora enek niat opo-opo. Masalah sing wingi kae uwes tak lalekne. Aku ngerti aku sing salah, aku minta maaf yo. Anggepen wae iki permintaan maafku” jawabe Ardi.
“Ke Put, kepiye? Isih enk sing kurang cetha?” pitakonku saya jengkel.
“Yo wes ayo…” jawabe Putri. Teko ekspresine, sajake dekne rumangsa isin wes megeli Ardi.
Ora enek sakjam, bane Putri uwes kenek didandani. Aku karo Putri matur nuwun marang Ardi. Nek ora nek Ardi embuh  kimau kepiye dadine.
Saka pengalaman iki, aku bisa ndudut hikmahe. Yaiku, sejatine urip kui ora ajeg. Bisa wae wong sing marai gela awake dhewe sawijining dina nulung awake dhewe. Mula kui yen sengit, sebel, utawa pegel karo wong samadya wae. Ehh, sopo reti sokmben awake dhewe butuh bantuane. Iyo gak???

Panganggit: Risma Wigati