04 Mei 2020

Sepatu Untukmu Nak,


Sepatu Untukmu Nak..,
Oleh: Risma Wigati

Angin sepoi-sepoi menggiring helaian daun kering membuyarkan lamunanya. Pohon beringin yang rindang itu memang teduh tetapi guguran daunnya memang tak sedikit. Ia segera tersadar dari lamunannya. Rupanya masih banyak sisi taman yang mesti ia bersihkan. Meskipun, keringat bercucuran membasahi punggungnya.
Pundi-pundi rupiah selembar demi selembar ia kumpulkan. Memang tak banyak tapi cukuplah untuk mengganjal perut dan sisanya membayar kontrakan yang sempit, kosong, hanya ada tikar segulung dan meja di pojok ruang itu. Seringkali, raut wajahnya sendu, memang usianya yang sudah menginjak kepala empat itu, membuat keriput di kantong matanya semakin jelas. Apalagi, air  matanya yang sesekali membengkakkan matanya.
Iwan, itulah namanya. Ayah satu anak yang lama hidup sendiri karena ditinggal isterinya. Bekerja sebagai tukang sapu taman yang tiap hari mengais rezeki dari guguran daun di bawah pohon beringin. Hampir setahun ia merantau di kota, sendiri., berteman sepi.
Suatu hari, ia menyapu di dekat lapangan bola. Senyum mulai menghiasi wajahnya. Nampak ia bahagia melihat anak-anak yang sedang bermain bola. Tiba-tiba bola menuju ke arahnya. Iwan pun sigap menangkap dan mengembalikan pada seorang anak, sambil melempar senyum. “Makasih, Om” kata seorang anak itu. “Sama-sama Nak,” jawab Iwan sembari mengusap peluhnya. Sejenak, wajahnya memerah seakan air matanya ingin menetes begitu saja, entahlah perasaannya mendadak campur aduk.
Hari demi hari pundi-pundi rupiah yang Iwan kumpulkan rupanya sudah cukup untuk membeli sebuah kado. Ia memutuskan untuk pulang kampung. Sebelumnya ia sempatkan mampir ke toko sepatu di seberang jalan. “Pak, ada sepatu bola untuk anak-anak usia 6 tahun?” tanya Iwan. “Ada mas, silahkan dipilih-pilih, bagus, murah pula.” Kata si penjual. Iwan pun menunjuk sepatu yang modelnya lumayan bagus, sayang ia begitu kecewa ketika melihat bandrol harganya. Sesekali ia menengok kantongnya. Ya, tidak cukup. Kalau dipaksa membeli, ia tak bisa membayar bus. Akhirnya, ia memilih sepatu yang lebih murah. Senang sekali hati Iwan rupanya. Segera, ia pergi ke terminal. Ia pun naik bus ekonomi, panas memang, berdesakan pula, tak apalah. Asalkan sampai kampung sesegera mungkin.
Perjalanan memakan waktu cukup lama, tibalah di pinggiran hutan. Sttttssssss......, sopir nampaknya berhenti mendadak. Naiklah seorang laki-laki tinggi besar, hitam, dan tato di kedua lengannya. Sontak membuat Iwan terkejut. Laki-laki itu kemudian merebut tas seorang ibu-ibu di bangku depan. Entah mengapa penumpang lain hanya diam, seakan sangat maklum dengan peristiwa itu. Namun, tidak dengan Iwan, ia menuju ke arah laki-lak itu dan berusaha merebut tas ibu-ibu. Namun, naas Iwan justru dipukul dan di dorong keluar bus. Iwan bergelimpangan di pinggir jalan. Begitu ia turun, yang pertama kali ia cari ialah sepasang sepatu yang ia semula ia pegang. Untunglah sepatu itu jatuh tidak jauh dari tempatnya. Iwan pun memutuskan mencari angkutan yang menuju desanya masih ada 10 km lagi agar ia sampai di desanya. Tak lama kemudian, datanglah sebuah truk yang kebetulan melewati desanya. Setelah meminta izin ia pun diperbolehkan menumpang. Hutan-hutan belantara di laluinya. Hanya satu dalam benaknya, segera sampai di desa.
Masuklah Iwan di gapura desa. Begitu senang hatinya, ia segera turun dan berjalan beberapa kilo melewati perkampungan. Di lihatnya rumah-rumah tetangganya di kanan kiri jalan, membuatnya rindu. Iwan terus berjalan melewati ladang dan sawah. Kemudian ia tiba di pinggir lapangan bola, terlihat anak-anak kecil bermain bola dengan riangnya. Tapi,, ia tak melihat seseorang yang dirindukannya. Iwan pun kembali berjalan.
Sampailah Iwan di gapura sebuah pemakaman. Segera ia berlari ke arah gundukan tanah dengan batu nisan di salah satu ujungnya. Iwan menangis tersedu-sedu. Meratapi makam itu. “Nak.., ayah datang...., membawakan sepatu yang kamu inginkan,,” bisik Iwan dengan ratapannya. Ia begitu meratapi nasib anak semata wayangnya itu. Dulu, Iwan tinggal berdua dengan anaknya setelah isterinya minggat saat anaknya berusia 2 tahun. Iwan sering menemani anaknya bermain bola dan bersorak sorai saat anaknya berhasil menggiring bola ke gawang. Hingga suatu ketika sang anak meminta dibelikan sepatu bola, tapi karena Iwan tak punya uang, Iwan tak bisa membelikannnya.
Malang betul nasib anak Iwan, saat mereka hendak pergi ke pasar, ia tertabrak mobil hingga pergi selama-lamanya. Ia menjadi korban tabrak lari yang sangat tragis. Kepergian anaknya membuat Iwan begitu terpukul dan bersedih.
Iwan terus meratap di nisan anaknya, sembari meletakkan sepatu di makam itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar