04 Mei 2020

assalamualaikum temen temen, jumpa lagi nih di postingan selanjutnya. yuks, disimak ceritanya.


Dari Ulur sampai Panen
Oleh: Risma Wigati

Otot kawat tulang besi, bolo sewu,  dan masih banyak lagi ungkapan konyol yang dilontarkan orang-orang padanya. Perempuan ini memang beda. Orang-orang sering heran dengan kegiatannya. Bagaimana tidak? Ibu dua anak ini sangat giat bekerja. Anak sulungnya yang cantik telah menikah, dan bekerja sebagai pengajar. Anak bungsunya, yaitu aku.. sedang kuliah.
Musim panen padi tahun ini, memang lumayan menyulitkan untuknya. Sawah ladangnya memang tidak banyak, namun cukup luas. “Aduhh.., nak! Padi di sawah kita ambruk, sampai-sampai tetanggamu mau buat sawah Emak untuk main bola” kata Emak padaku sambil menghela nafas. Kulihat raut wajahnya yang sendu, memikirkan semua tanggung jawab dan pekerjaannya. Sesekali, ia mengusap peluhnya dengan telapak tangannya yang keras dan tebal. Aku sedih belum bisa membuatnya bahagia.
Libur akibat wabah ini, memang membawa berkah bagiku dan Emak. Betapa tidak, jika aku tak ada di rumah, siapa yang akan membantu Emak panen padi di sawah? Emak harus ke sawah sendirian, karena nenek sudah tua. Dari menanam padi, menyiangi rumput, sampai panen dikerjakannya sendiri. Tak hanya itu, ia masih harus mengurusi ternak sapi kesayangannya. Sampai-sampai punggungnya sakit karena menggendong kolonjono terlalu banyak. Sebab itulah, banyak orang yang heran dengan kuat tenaganya, yang hampir tidak dimiliki orang lain. Namun, bagiku Allah-lah yang menguatkan Emak, menguatkan tenaganya karena tekadnya untuk menghidupi keluarga yang begitu besar. Semenjak, 6 tahun silam, Bapak meninggalkan kami untuk selamanya, Emak bertekad agar bisa menyekolahkan anak-anaknya sampai setinggi-tingginya. Sungguh, memilukan cerita ini.
Emak tak menghiraukan panas terik yang kian membakar punggung dan  mengucurkan keringatnya. Hampir sebulan aku dan Emak panen padi di tiga tempat. Semuanya, dikerjakan sendiri oleh Emak. Mulai dari ngarit, gepyok padi, sampai mengusung padi puluhan bagor ia kerjakan sendiri. Aku yakin banyak orang yang takkan percaya kalau tidak melihat faktanya sendiri. Makanya, orang-orang sering bilang Emak punya bolo sewu artinya bala bantuan seribu. Wkwkwk, sungguh begitu lucu ku mendengarnya. Seperti yang kubilang tadi, meskipun libur aku tetap kuliah online, banyak tugas memang. Tapi, tak apalah selama aku bersama Emak, aku kuat menjalaninya. Makanya, setiap hari libur aku di sawah, Senin sampai Kamis aku berangkat sehabis Dhuhur. Karena paginya masih ada tugas dan diskusi online. Tak jarang hape kesayangannku yang menurutku harganya mahal, kubawa ke ladang, saking takutnya kalau ada info mendadak. Aku pun pernah menjawab pertanyaan saat diskusi di gubuk, pernah juga disemprot Dosen karena pertanyaanku terlalu banyak, padahal saat itu aku sedang membantu Emak mengusung gabah puluhan bagor itu. Terkadang nyesek juga, tapi biasa sajalah.., hidup itu kalau nggak nano-nano nggak asyik namanya nggak ngalami seninya hidup.
Terik sinar mentari tak pernah menyurutkan langkahnya. Semua kesulitan hidup tak pernah menurunkan semangatnya. Emak sudah bertekad cukup ia saja yang menjadi petani. Anak-anaknya jangan, sehingga ia ingin mewariskan ilmu kepada anak-anaknya. Karena baginya, ilmu akan membawa anaknya menuju kehidupan  yang  lebih baik. Usai panen padi, pekerjaan ulur kacang pun menanti. Lagi-lagi bolosewunya Emak beraksi. Nyatanya Emak mencangkul papan sawah itu sendirian meskipun  Emak sedang puasa. Semua kegigihan dan semangat Emaklah yang selalu menguatkanku. Membuat aku lebih bersyukur atas semua keadaan ini. Sangat mungkin, di luar sana ada yang menginginkan hidup seperti kami. 

nahh, itulah cerita kali ini, silahkan like and coment ya... 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar