13 Juni 2019

CERPENKU
Hai teman-teman, kali ini saya akan membagikan sebuah cerpen. Yuk, kita simak berikut ini.

 "GUNUNG GENI MURUB"



Kicauan burung-burung terdengar amat merdu. Semburat cahaya merah nampak di ufuk timur saat kusibakkan jendela kamarku. Udara sejuk nan melonggarkan dada mengembangkan semangat, menjernihkan pikiran, untuk mengawali hari ini. Aku segera beranjak dan bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Saat aku keluar rumah nampak teman-temanku di kejauhan. Seperti biasa, mereka mengajakku berangkat bersama. Kami berbincang-bincang sepanjang jalan.
“Heiii...., teman-teman tahu nggak? Kudengar dari orang-orang tadi malam, di gunung itu muncul cahaya yang menyeramkan lho.., dan katanya gunung itu keramat. Cahaya itu terlihat hampir setiap malam. Hiiii...., serem... ya..” kata Andi.
“Iya..iya..., aku juga mendengar cerita itu. Aku jadi takut kalau melewati jalan di sekitar gunung itu” kata Toni.
“Ahh..., masa sih segitunya. Itu cuma mitos, aku tak percaya” kataku menyanggah cerita mereka.
“Ehh..., kamu dikasih tahu kok gitu sih!! Nanti kalau kamu lihat sendiri baru tahu rasa lho!!” kata Andi mengancamku.
“Sudah-sudah jangan bertengkar terus. Kalian ini kok gak akur sih? Lihat sekarang jam berapa? Ayo cepat nanti terlambat!” kata Toni sambil menunjuk jam tangannya.
Cahaya merah padam menghiasi langit ufuk barat. Mentari telah menenggelamkan diri di balik pengunungan yang indah itu. Sayup-sayup suara adzan diiringi tabuh bedhug Maghrib bersahut-sahutan. Malam ini aku dan teman-teman ada pengajian di mushola. Sehabis shalat Maghrib, aku segera berangkat dengan mengenakan kopyah, baju koko, dan sarung tenun lantas membawa kitab suci, layaknya santri. Aku berangkat bersama teman-teman.
Pukul sembilan malam pengajian usai. Namun celakanya, teman-temanku dijemput orangtuanya. Mungkin nasibku malam ini harus pulang sendirian. Terlintas di benakku sebaiknya aku pulang lewat jalan pintas saja agar lebih cepat sampai di rumah. Sampailah aku di jalan dekat gunung itu. Tiba-tiba kuteringat ucapan Andi tempo hari. Apalagi ini malam Jum’at Kliwon. Aku tiba-tiba deg-degan. Bulu kudukku berdiri dan badanku merinding. Apalagi jalan ini sepi sekali. Aku terus melangkah walaupun terbayang-bayang sejuta kemungkinan yang akan terjadi di depanku. Tiba-tiba kulihat kilatan cahaya dan suara aneh. Jantungku berdegup kencang dan hatiku berdebar-debar. Satu dua langkah kilatan cahaya semakin jelas di lereng-lereng gunung yang keramat itu. Tiga empat langkah benar-benar kulihat cahaya menyala-nyala di lereng. Sontak aku terperanjat dan segera lari tunggang langgang hingga sampai di rumah nafasku terengah-engah. Aku menepuk-nepuk pipi, sesekali mencubit tanganku. Ah..., rasanya sakit. Berarti aku tak sedang bermimpi. Kukira itu hanya mimpi belaka. Namun, kejadian tadi nyata. Aku penasaran sekali dan aku harus mencari tahu.
Siang ini aku pulang bersama teman-teman. Cuaca hari ini agak murung. Gumpalan mendung putih menghiasi cakrawala hari ini.
“Teman-teman...., nanti mau nggak kuajak ke suatu tempat?” kataku.
“Ke mana??” tanya Toni.
“Ada deh..., mau nggak?? Kalau mau nanti kalian kumpul di pertigaan ya...”
“Ya...ya...,” jawab mereka serempak.
Tibalah waktu yang disepakati. Aku datang paling awal di sana. Tak berapa lama kawan-kawan pun datang dan langsung menyerbuku dengan ribuan pertanyaan.
“Eh...., ada apa sih, kok kita disuruh kumpul?” tanya Andi.
“Sabar kawan..., begini lho, tadi malam aku pulang sendirian, terus lewat jalan di dekat gunung keramat itu” kataku.
“Maksudmu? Gunung itu?” tanya Toni sambil menunjuk ke arah selatan.
“Iya...,” kataku.
“Lantas, apa yang terjadi?” tanya Andi
“Seperti yang kamu katakan kemarin” jawabku santai.
“Apa???” teriak mereka heran.
“Jadi....,” kata Toni terputus-putus.
“Iya..., tapi tunggu dulu. Justru karena itu aku ingin mengajak kalian untuk menyelidiki kejadian sebenarnya” kataku.
“Maksudmu?” teriak mereka sambil mengernyitkan keningnya.
“Kita mencari tahu. Apakah benar yang dikatakan warga, kalau gunung itu ada penunggunya,” kataku.
“Lalu...??” tanya mereka masih tidak paham.
“Kita akan ke gunung itu sekarang,” kataku jelas.
“Apa???” kata mereka sambil melotot.
“Tidak! Kami tidak mau!!” kata Andi.
“Ayolah... aku jamin tak kan terjadi apa-apa kok? Kalian tenang saja.” kataku.
“Kamu ini aneh-aneh saja sih!” kata Toni.
“Ayolah..., kalian benar nggak mau bantu aku, beneran!!” kataku membujuk.
“Ya..., sudahlah..., kami mau demi kau,” kata Toni.
“Gitu dong..., itu baru namanya teman sejati.” kataku sambil senyum-senyum. Teman-temanku nampak tak bersemangat dan memalingkan muka.
“Ayo jalan sekarang,” kataku.
“Iya... ayo” kata Andi.
Kami segera berangkat menuju gunung itu. Kami terkejut saat melihat abu-abu sisa pembakaran di lereng gunung itu. Kami telusuri terus dengan hati-hati. Sisa abu itu seperti telah diambil oleh seseorang, karena nampak ada cakaran tangan. Setelah beberapa meter dari tempat itu kami menemukan sebuah bendayang taka sing lagi. Ini pasti perbuatan manusia. Tak mungkin kera ataupun mahkluk halus. Kami semakin mendapat petunjuk ketika kami melihat ada jejak-jejak kaki. Yang paling jelas kami melihat sabit yang tertancap di sebuah pohon di gunung itu. Kami semakin penasaran. Penemuan itu memberikan titik terang atas penyelidikan mitos ini. Terlihat di kejauhan ada sebuah gubuk. Kami segera menghampirinya. Dengan pelan-pelan dan hati-hati mendekati gubuk itu. Semoga ini semua adalah akhir dari segala teka-teki yang menakut-nakuti warga desa. Tiba-tiba muncul seorang kakek dengan caping di kepalanya dan baju lusuh melekat di badannya. Sontak membuat kami kaget bukan main.
“Jangan takut nak? Aku hanya manusia biasa,” kata kakek yang bercaping itu.
Kami menghela nafas lega.
“Kakek bolehkah kami singgah di gubuk kakek?” tanyaku.
“Boleh nak, mari..,” ajak kakek.
Kakek itu duduk dan membuka capingnya. Alangkah terkejutnya aku, ternyata dia adalah.............,,
“Kakek!!” teriakku spontan.
“Iya,... ini kakek” kata kakek sambil tersenyum.
“Kek.., bolehkah saya bertanya?” tanya Andi.
“Boleh. Mau tanya apa?” kata kakek.
“Begini kek? Kami sering melihat api di lereng gunung ini kek? Kata orang, itu adalah mahkluk halus kek? Apa benar itu?” tanyaku.
“Oh .. itu. Sebenarnya mitos itu tidak benar adanya. Api yang berkobaran malam itu sebenarnya kakek yang menyalakan” kata kakek.
“Jadi...!! semua itu tidak benar ya kek? Lalu, kenapa kakek melakukan itu?” tanya Andi.
“Kakek melakukan itu untuk mengusir babi hutan yang suka mengganggu tanaman warga,” jelas kakek.
“Oh... jadi begitu kek. Pantas saja setiap malam menjelang panen kakek tidak ada di rumah,” kataku.
“Bukan itu saja, kakek melakukan itu untuk menakut-nakuti orang yang suka menebang pohon di gunung ini,” jelas kakek.
“Waahhhh...., berarti kakek punya jasa besar untuk warga desa ya kek,” kataku.
“Aaahhh.., biasa saja. Tapi ada satu hal yang harus kalian catat!” kata kakek.
“Apa kek?”
“Kalian harus janji. Tidak boleh bercerita kepada siapapun tentang kakek dan nyala api itu,” kata kakek.
“Ya kek janji..janji..,” kata kami serempak sambil tersenyum lega.
“Gimana kek, kalau gunung ini kita namai “Gunung Geni Murub”?” kataku.
“Ya..., kakek setuju kalian memang anak cerdas dan pemberani,” kata kakek dengan wajah sumringah.
Senyum ceria mengembang di raut wajah kami. Akhirnya, mitos yang menjadi teka-teki itu terkuak hari ini.

 Dulu, cerpen aku ini pernah aku ikutkan di FLS2N tingkat Kabupaten Pacitan, tapi sayang aku belum beruntung. Silahkan dibaca untuk menambah pengalaman dan inspirasi, tetapi jangan sampai copas ya,,. karya sendiri itu lebih baik kawan...
Semoga bermanfaat,  ikuti terus postingan selanjutnya.


4 komentar: