Sepatu Untukmu Nak..,
Oleh: Risma
Wigati
Angin
sepoi-sepoi menggiring helaian daun kering membuyarkan lamunanya. Pohon
beringin yang rindang itu memang teduh tetapi guguran daunnya memang tak
sedikit. Ia segera tersadar dari lamunannya. Rupanya masih banyak sisi taman
yang mesti ia bersihkan. Meskipun, keringat bercucuran membasahi punggungnya.
Pundi-pundi
rupiah selembar demi selembar ia kumpulkan. Memang tak banyak tapi cukuplah
untuk mengganjal perut dan sisanya membayar kontrakan yang sempit, kosong,
hanya ada tikar segulung dan meja di pojok ruang itu. Seringkali, raut wajahnya
sendu, memang usianya yang sudah menginjak kepala empat itu, membuat keriput di
kantong matanya semakin jelas. Apalagi, air
matanya yang sesekali membengkakkan matanya.
Iwan,
itulah namanya. Ayah satu anak yang lama hidup sendiri karena ditinggal
isterinya. Bekerja sebagai tukang sapu taman yang tiap hari mengais rezeki dari
guguran daun di bawah pohon beringin. Hampir setahun ia merantau di kota,
sendiri., berteman sepi.
Suatu
hari, ia menyapu di dekat lapangan bola. Senyum mulai menghiasi wajahnya.
Nampak ia bahagia melihat anak-anak yang sedang bermain bola. Tiba-tiba bola
menuju ke arahnya. Iwan pun sigap menangkap dan mengembalikan pada seorang anak,
sambil melempar senyum. “Makasih, Om” kata seorang anak itu. “Sama-sama Nak,”
jawab Iwan sembari mengusap peluhnya. Sejenak, wajahnya memerah seakan air
matanya ingin menetes begitu saja, entahlah perasaannya mendadak campur aduk.
Hari
demi hari pundi-pundi rupiah yang Iwan kumpulkan rupanya sudah cukup untuk
membeli sebuah kado. Ia memutuskan untuk pulang kampung. Sebelumnya ia
sempatkan mampir ke toko sepatu di seberang jalan. “Pak, ada sepatu bola untuk
anak-anak usia 6 tahun?” tanya Iwan. “Ada mas, silahkan dipilih-pilih, bagus,
murah pula.” Kata si penjual. Iwan pun menunjuk sepatu yang modelnya lumayan
bagus, sayang ia begitu kecewa ketika melihat bandrol harganya. Sesekali ia
menengok kantongnya. Ya, tidak cukup. Kalau dipaksa membeli, ia tak bisa
membayar bus. Akhirnya, ia memilih sepatu yang lebih murah. Senang sekali hati
Iwan rupanya. Segera, ia pergi ke terminal. Ia pun naik bus ekonomi, panas
memang, berdesakan pula, tak apalah. Asalkan sampai kampung sesegera mungkin.
Perjalanan
memakan waktu cukup lama, tibalah di pinggiran hutan. Sttttssssss......, sopir
nampaknya berhenti mendadak. Naiklah seorang laki-laki tinggi besar, hitam, dan
tato di kedua lengannya. Sontak membuat Iwan terkejut. Laki-laki itu kemudian
merebut tas seorang ibu-ibu di bangku depan. Entah mengapa penumpang lain hanya
diam, seakan sangat maklum dengan peristiwa itu. Namun, tidak dengan Iwan, ia
menuju ke arah laki-lak itu dan berusaha merebut tas ibu-ibu. Namun, naas Iwan
justru dipukul dan di dorong keluar bus. Iwan bergelimpangan di pinggir jalan.
Begitu ia turun, yang pertama kali ia cari ialah sepasang sepatu yang ia semula
ia pegang. Untunglah sepatu itu jatuh tidak jauh dari tempatnya. Iwan pun
memutuskan mencari angkutan yang menuju desanya masih ada 10 km lagi agar ia
sampai di desanya. Tak lama kemudian, datanglah sebuah truk yang kebetulan
melewati desanya. Setelah meminta izin ia pun diperbolehkan menumpang.
Hutan-hutan belantara di laluinya. Hanya satu dalam benaknya, segera sampai di
desa.
Masuklah
Iwan di gapura desa. Begitu senang hatinya, ia segera turun dan berjalan beberapa
kilo melewati perkampungan. Di lihatnya rumah-rumah tetangganya di kanan kiri
jalan, membuatnya rindu. Iwan terus berjalan melewati ladang dan sawah.
Kemudian ia tiba di pinggir lapangan bola, terlihat anak-anak kecil bermain
bola dengan riangnya. Tapi,, ia tak melihat seseorang yang dirindukannya. Iwan
pun kembali berjalan.
Sampailah
Iwan di gapura sebuah pemakaman. Segera ia berlari ke arah gundukan tanah
dengan batu nisan di salah satu ujungnya. Iwan menangis tersedu-sedu. Meratapi
makam itu. “Nak.., ayah datang...., membawakan sepatu yang kamu inginkan,,”
bisik Iwan dengan ratapannya. Ia begitu meratapi nasib anak semata wayangnya
itu. Dulu, Iwan tinggal berdua dengan anaknya setelah isterinya minggat saat
anaknya berusia 2 tahun. Iwan sering menemani anaknya bermain bola dan bersorak
sorai saat anaknya berhasil menggiring bola ke gawang. Hingga suatu ketika sang
anak meminta dibelikan sepatu bola, tapi karena Iwan tak punya uang, Iwan tak
bisa membelikannnya.
Malang
betul nasib anak Iwan, saat mereka hendak pergi ke pasar, ia tertabrak mobil
hingga pergi selama-lamanya. Ia menjadi korban tabrak lari yang sangat tragis.
Kepergian anaknya membuat Iwan begitu terpukul dan bersedih.
Iwan
terus meratap di nisan anaknya, sembari meletakkan sepatu di makam itu.